e. Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam satu pasal di dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Pasal 7 dengan rumusan sebagai berikut.
Rumusan perubahan:
Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Rumusan naskah asli:
Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Perubahan pasal ini dilatarbelakangi oleh praktik ketatanegaraan kita selama berpuluh-puluh tahun tidak pernah mengalami pergantian presiden. Terjadinya hal tersebut disebabkan oleh rumusan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum diubah yang memang menimbulkan tafsiran yang beragam, antara pendapat yang menyatakan bahwa presiden dapat menjabat berkali-kali dan pendapat yang menyatakan bahwa presiden hanya dapat menjabat dua kali.
Belajar dari pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, dilakukan perubahan sehingga dengan rumusan Pasal 7 itu, periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sudah ditentukan dan dibatasi, yakni bisa dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Dengan demikian, Presiden atau Wakil Presiden hanya dapat menjabat maksimal dua kali masa jabatan.
f. Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Pengaturan mengenai hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 7A. Rumusannya sebagai berikut.
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sebelum perubahan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum memuat ketentuan yang mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya mengatur hal itu di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa DPR mengusulkan sidang istimewa MPR dan MPR meminta pertanggungjawaban Presiden. Hal itu di samping bertentangan dengan sistem presidensial juga membuka peluang terjadinya ketegangan dan krisis politik dan kenegaraan selama masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, seperti yang kerap kali terjadi dalam praktik ketatanegaraan kita. Praktik ketatanegaraan seperti itu lebih merupakan pelaksanaan sebuah sistem pemerintahan parlementer yang tidak dianut negara kita.
Untuk itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (impeachment) yang didasarkan pada alasan hukum ataupun alasan lain, yang tidak bersifat politik dan multitafsir seperti yang terjadi pada era sebelumnya. Dengan adanya rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas dan jelas mengatur mengenai impeachment, hanya atas alasan yang ter-cantum dalam ketentuan Pasal 7A saja, seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Itu pun hanya dapat dilakukan setelah melalui proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) dan DPR.
Peran MK menegaskan bekerjanya prinsip negara hukum. Putusan MK merupakan putusan hukum yang didasarkan pada pertimbangan hukum semata. Posisi putusan MK menjadi rujukan/acuan bagi DPR mengenai apakah usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut diteruskan atau dihentikan.
g. Prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sebagaimana ketentuan Pasal 7A diatur dalam ketentuan Pasal 7B yang terdiri atas tujuh ayat, yaitu ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) dengan rumusan sebagai berikut.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketentuan itu dilatarbelakangi oleh kehendak untuk melaksanakan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara (DPR, Presiden, dan MK) serta paham mengenai negara hukum. Sesuai dengan bidang kekuasaannya, sebagai lembaga perwakilan, DPR mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Usul pemberhentian itu merupakan pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. MK menjalankan proses hukum tersebut atas usul pemberhentian tersebut dengan cara memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR.
Pasal 7B
(1) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan itu dilatarbelakangi oleh sistem keta-tanegaraan kita yang menempatkan DPR dan Presiden dalam kedudukan yang setara/seimbang. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR dan DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu fungsi DPR adalah fungsi pengawasan terhadap Pre-siden (dan Wakil Presiden serta pemerintah secara umum). Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut, DPR dapat berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Atas pendapatnya tersebut, DPR dapat meng-ajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR sebagai lembaga negara yang berwenang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya sesuai dengan keten-tuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karena kedudukan DPR sejajar/seimbang dengan kedudukan Presiden sehingga keduanya tidak dapat saling menjatuhkan, DPR tidak memproses dan tidak mengambil putusan terhadap pendapatnya sendiri. Oleh karena itu, DPR mengajukannya kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat yang berisi dugaan DPR itu. Jika putusan MK menyatakan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR meneruskan usul pemberhentian ke MPR.
Ketentuan itu juga merupakan salah satu pe-laksanaan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi antarlembaga negara, khususnya antara DPR, MK, dan MPR sesuai dengan kedudukan dan wewenangnya yang berbeda.
Pasal 7B
(1) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan kuorum dan jumlah minimal dukungan anggota DPR itu dimaksudkan agar pendapat DPR merupakan pendapat yang didukung oleh mayoritas anggota DPR.
Adapun jangka waktu yang disebut secara tegas dalam ketentuan Pasal 7B ayat (4) dimaksudkan untuk memberikan kepastian waktu sekaligus batas waktu (deadline) kepada MK. Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindarkan berlarut-larutnya proses pember-hentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang akan dapat meningkatkan ketegangan situasi politik nasional.
Pasal 7B
(1) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melaku-kan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ketentuan itu menunjukkan diterapkannya paham negara hukum sehingga hanya atas putusan MK, DPR dapat melanjutkan upaya pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya dengan cara menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Pasal 7B
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyeleng-garakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(2) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Adanya ketentuan mengenai jangka waktu yang disebut secara tegas dalam ketentuan Pasal 7B ayat (6) dimaksudkan untuk memberikan kepastian waktu seka-ligus batas waktu kepada MPR untuk menyelenggarakan sidang guna membahas usul pem-berhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR. Ketentuan itu menghindarkan berlarut-larutnya proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang dapat meningkatkan ketegangan situasi politik nasional.
Ketentuan kuorum sebanyak tiga perempat dari jumlah anggota MPR harus hadir dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR yang hadir dalam mengambil putusan terhadap usul DPR tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan putusan yang didukung suara terbanyak.
Rapat Paripurna MPR dapat memutuskan mem-berhentikan atau tidak diberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Proses itu merupakan bagian dari ketentuan hukum yang diatur dalam Un-dang-Undang Dasar.
Ketentuan Pasal 7B yang mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan melalui tahapan yang jelas dan tegas yang dilakukan tiga lembaga negara, yaitu DPR, MK, dan MPR.
Walaupun dipilih oleh rakyat untuk memimpin dan memegang kekuasaan pemerintahan negara, sebagai manusia Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa saja melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum yang merusak sendi-sendi hidup bernegara dan mencederai hukum. Oleh sebab itu, Presiden dan/atau Wakil Presiden bisa diberhentikan dalam masa jabatannya dengan alasan tertentu yang disebutkan secara limitatif di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni melalui proses politik (dengan adanya pendapat DPR dan keputusan pemberhentian MPR) dan melalui proses hukum (dengan cara Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR).
Perbuatan pelanggaran hukum yang secara limitatif dijadikan alasan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimuat dalam pasal 7B ayat (1) adalah pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan muatan berbagai konstitusi di banyak negara, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan melalui proses dan keputusan politik (impeachment) atau melalui proses dan putusan hakim di pengadilan (forum previlegiatum). Pemberhentian melalui impeachment dimaksudkan bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan dengan mekanisme dan syarat-syarat tertentu oleh lembaga perwakilan rakyat, sedangkan pemberhentian melalui forum previlegiatum dimaksudkan bahwa pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui proses hukum dan putusan pengadilan.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan dengan proses impeachment oleh MPR jika proses hukum (forum previlegiatum) telah ditempuh melalui Mahkamah Konstitusi, yang sebelumnya harus didahului dengan pernyataan pendapat oleh DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Dengan demikian, proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya haruslah melalui tiga tahap. Pertama, pernyataan pendapat dari DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam pasal 7B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, adanya putusan Mahkamah Konstitusi bahwa pendapat DPR tersebut terbukti benar. Ketiga, pemberhentian oleh MPR jika MPR berketetapan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden itu layak dijatuhi hukuman pemberhentian. Jadi, MPR tidak harus memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden meskipun putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tertentu menurut konstitusi.
Tahapan-tahapan tersebut membuktikan bahwa dalam memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang masih dalam jabatannya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berpijak pada paham negara demokrasi seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (2) dan berpijak pada paham negara hukum seperti diatur dalam pasal 1 ayat (3). Penerapan paham demokrasi dilakukan melalui pernyataan pendapat lebih dahulu oleh DPR dan pemberhentian oleh MPR, yang merupakan lembaga perwakilan dengan fungsi yang berbeda. Penerapan paham negara hukum dilakukan melalui forum previlegiatum, yakni dengan pemeriksaan, pengadilan, dan putusan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman sebelum MPR benar-benar memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Di sinilah terletak perpaduan penerapan antara paham demokrasi dan paham negara hukum.
h. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai larangan pembekuan dan/atau pembubaran DPR oleh Presiden tercantum dalam Pasal 7C dengan rumusan sebagai berikut.
Pasal 7C
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mewujudkan keseimbangan politis bahwa DPR tidak dapat mem-berhentikan Presiden, kecuali mengikuti ketentuan Pasal 7A (ketentuan ini diangkat dari Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) dan Presiden juga tidak dapat membekukan DPR. Ketentuan itu juga dimaksudkan untuk melindungi keberadaan DPR sebagai salah satu lembaga negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat sekaligus mene-guhkan kedudukan yang setara antara Presiden dan DPR yang sama-sama memperoleh legitimasi langsung dari rakyat.
Dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan larangan pembekuan dan/atau pembubaran DPR, pada masa yang akan datang tidak boleh terjadi peristiwa pembekuan dan/atau pembubaran DPR oleh Presiden.