12. Bab Kekuasaan Kehakiman
Sebelum perubahan, Bab tentang Kekuasaan Keha-kiman terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 24 dan Pasal 25. Setelah diubah, Bab tentang Kekuasaan Kehakiman menjadi lima pasal sehingga lebih rinci dan lebih lengkap, yaitu Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25. Pada Perubahan Ketiga (tahun 2001) diputus Pasal 24 [kecuali ayat (3)], Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C. Pasal 24 ayat (3) diputus pada Perubahan Keempat (tahun 2002), sedangkan Pasal 25 tetap, tidak diubah.
Perubahan itu melahirkan dua lembaga baru dalam kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Secara umum, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu dimaksudkan untuk memperkuat kekuasaan keha-kiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum.
Uraian perubahan yang tercakup dalam materi pokok Bab tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut.
a. Badan-badan pelaksana kekuasaan kehakiman
Sebelum perubahan, ketentuan mengenai badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 24 dengan dua ayat, yaitu ayat (1) dan ayat (2). Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi ini tetap terdiri atas satu pasal dengan tiga ayat, yaitu Pasal 24 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pada Perubahan Ketiga (tahun 2001) diputus dua ayat, yaitu ayat (1) dan ayat (2), sedangkan ayat (3) dipu-tuskan pada Perubahan Keempat (tahun 2002). Rumusan perubahannya sebagai berikut.
Rumusan perubahan:
BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Rumusan naskah asli:
BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 24
(1) Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3).
Pada Pasal 24 ayat (2) dibentuk satu lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), selain badan kekuasaan kehakiman yang telah ada, yaitu Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Wewenang dan hal lain yang terkait dengan MK diatur dalam Pasal 24C.
Ketentuan Pasal 24 ayat (3) menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Hal-hal mengenai badan lain itu diatur dalam undang-undang.
Pengaturan dalam undang-undang mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman membuka partisipasi rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan undang-undang tersebut.
Adanya ketentuan pengaturan dalam undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud saling mengawasi dan saling mengimbangi antara kekuasaan yudikatif MA dan badan peradilan di bawahnya serta MK dengan kekuasaan legislatif DPR dan dengan kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudkan untuk mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated judi-ciary system) di Indonesia.
Pencantuman Pasal 24 ayat (3) di atas juga untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi pada masa yang akan datang, misalnya, kalau ada perkembangan badan-badan peradilan lain yang tidak termasuk dalam kategori keempat lingkungan peradilan yang sudah ada itu diatur dalam undang-undang.
b. Kewenangan Mahkamah Agung
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan kewenangan Mahkamah Agung (MA) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Rumusannya sebagai berikut.
Pasal 24A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk men-dapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
Perubahan ketentuan mengenai MA dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan kons-titusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan kinerja MA. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1), MA mempunyai wewenang:
1) mengadili pada tingkat kasasi;
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Untuk itu, pengusulan calon hakim agung dila-kukan oleh Komisi Yudisial (KY) dengan persetujuan DPR. Dengan ketentuan itu, rakyat melalui DPR mempunyai kewenangan untuk menentukan siapa yang tepat menjadi hakim agung sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh kepastian dan keadilan.
c. Kewenangan Komisi Yudisial
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan kewenangan Komisi Yudisial (KY) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24B ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Rumusannya sebagai berikut.
Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhen-tikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
Ketentuan ini didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di MA dan para hakim merupakan figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam susunan peradilan di Indonesia sehingga ia menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan.
Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan mengenai pembentukan lembaga di bidang kekuasaan kehakiman bernama Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga yang bersifat mandiri. Menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1), KY berwenang meng-usulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mene-gakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Melalui lembaga KY itu diharapkan dapat di-wujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.
d. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Rumusannya sebagai berikut.
Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang ter-hadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dengan wewenang tertentu, sebagai berikut:
1) menguji undang-undang terhadap Undang-Un-dang Dasar;
2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3) memutus pembubaran partai politik;
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejalan de-ngan dianutnya paham negara hukum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum. MK-lah yang bertugas menjaga konstitusionalitas hukum tersebut.
Dalam praktik tidak ada keseragaman di negara-negara di dunia ini mengenai kewenangan MK di-sesuaikan dengan sejarah dan kebutuhan setiap negara. Ada konstitusi negara yang menyatukan fungsi mahkamah konstitusi ke dalam MA; ada pula konstitusi negara yang memisahkannya sehingga dibentuk dua badan kekuasaan kehakiman, yaitu MA dan MK. Indonesia menganut paham yang kedua.
Masih berkaitan dengan kewenangan MK, lemba-ga negara ini juga berwenang memutus sengketa ke-wenangan lembaga negara yang kewenangannya dibe-rikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaga negara yang kewenangannya diberikan langsung oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, dan BPK. Perbedaan pendapat di dalam MK sendiri diputuskan melalui mekanisme internal MK.
Putusan MK untuk menyelesaikan perbedaan pen-dapat di tubuh MK berdasarkan pertimbangan kom-posisi keanggotaan hakim konstitusi di MK yang diharapkan dapat menerapkan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi. Komposisi hakim konstitusi di MK merupakan perwujudan tiga cabang kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yakni dari sembilan anggota hakim konsti-tusi terdiri atas tiga orang yang diajukan oleh DPR, tiga orang yang diajukan oleh Presiden, dan tiga orang yang diajukan oleh MA.
Dengan pembentukan MK tersebut, proses dan putusan yang diambil badan peradilan ini terhadap perkara-perkara yang menjadi wewenangnya dapat dilakukan secara lebih baik karena ditangani oleh badan peradilan yang memang khusus dibentuk untuk menangani perkara yang khusus yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada sisi lain adanya MA dan MK dalam ke-kuasaan kehakiman lebih mempertegas bahwa praktik pemerintahan selama ini yang membedakan adanya lembaga tertinggi negara dan tinggi negara sudah ditinggalkan karena setiap lembaga menjalankan tugas sesuai dengan fungsi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.