b. Kekuasaan DPR membentuk undang-undang
Sebelum diubah, ketentuan yang mengatur kekuasaan DPR dalam membentuk undang-undang terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 20 dengan dua ayat, yaitu ayat (1) dan ayat (2). Setelah diubah, ketentuan itu tetap diatur dalam satu pasal tetapi dengan lima ayat, yaitu Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Pada Perubahan Pertama (tahun 1999) diputuskan ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Adapun ayat (5) diputuskan pada Perubahan Kedua (tahun 2000), dengan rumusan perubahan sebagai berikut.
Rumusan perubahan:
Pasal 20
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
Rumusan naskah asli:
Pasal 20
(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak men-dapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Perubahan pasal ini dimaksudkan untuk member-dayakan DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang. Perubahan pasal ini mengubah peranan DPR yang sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang dibuat oleh Presiden (kekuasaan eksekutif). Pasal ini juga memberikan hak kepada anggota DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang.
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang, yang sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif). Namun, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain ketentuan bahwa pem-bahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden.
Dengan pergeseran kewenangan membentuk un-dang-undang itu, sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal itu juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.
c. RUU yang disetujui bersama DPR dan Presiden sah menjadi UU
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai ketentuan RUU yang disetujui bersama DPR dan Presiden tetapi tidak disahkan oleh Presiden diatur dalam Pasal 20 ayat (5). Rumusan Pasal 20 ayat (5) ini melengkapi Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) hasil Perubahan Pertama (tahun 1999). Rumusan Pasal 20 ayat (5) sebagai berikut.
Pasal 20
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, ran-cangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Ketentuan itu dirumuskan karena adanya kebu-tuhan untuk mencari solusi konstitusional apabila tidak dilakukan pengesahan oleh Presiden atas sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden, sehingga tidak menentunya pengundangan RUU tersebut. Selain itu, belajar dari praktik ketatanegaraan pada masa lalu terdapat RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dan Presiden, tetapi ternyata kemudian tidak disahkan oleh Presiden. Hal itu dapat menim-bulkan ketidakpastian hukum dan kesimpangsiuran hukum yang membawa dampak negatif dalam kehi-dupan kenegaraan.
Dengan adanya ketentuan ini, ditandatangani atau tidak ditandatanganinya suatu RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden oleh Presiden, setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, RUU itu serta merta (otomatis) secara resmi menjadi Undang-Undang (UU) yang sah menurut hukum dan menjadi hukum yang berlaku.
Rumusan ini merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan kekuasaan membentuk undang-undang yang ada di tangan DPR. Selain itu, ketentuan ini berkaitan dengan Pasal 22 ayat (1) yang mengatur kekuasaan Presiden. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan peme-rintah pengganti undang-undang (perpu).
Walaupun RUU tersebut tidak ditandatangani Presiden, hal itu tidak mengurangi komitmen semua pihak, terutama penyelenggara negara untuk melaksanakan undang-undang tersebut, termasuk Presiden. Hal itu karena undang-undang tersebut se-belumnya telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden. Selain itu, adanya penegasan Pasal 20 ayat (5) itu sendiri yang menyatakan bahwa suatu RUU sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan apabila lewat waktu 30 hari walaupun Presiden tidak mengesahkannya.
Ketentuan ini dirumuskan untuk memberikan ke-pastian hukum. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 ayat (5) ini perlu dipahami sebagai imbangan ketentuan Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) karena RUU itu sudah dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
d. Fungsi dan hak DPR serta hak anggota DPR
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur fungsi dan hak lembaga DPR serta hak anggota DPR dalam satu pasal, yaitu Pasal 20A dengan empat ayat, yaitu ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Uraian perubahannya sebagai berikut.
Pasal 20A
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat sekaligus memperkukuh pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR.
Dalam ketentuan itu dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR untuk membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Pre-siden (pemerintah).
Penegasan fungsi dan hak DPR serta hak anggota DPR dalam ketentuan itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat.